salam

Minggu, 01 Mei 2011

Thalab Al – ‘Ilmi

Saya menulis artikel ini spesial untuk para penuntut ilmu, saudara-saudara muslim seiman yang sangat bersemangat dalam mencari ilmu, dalam rangka menjalankan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala.
Dan juga bertepatan dengan selesainya Ujian Nasional yang telah ditempuh oleh para pelajar, baik itu pelajar SMA, maupun pelajar SMP di seluruh Indonesia.
Semoga Allah Swt. memberikan hasil dan nilai terbaik untuk setiap apa yang mereka usahakan, Amin ya Rabb ..

Artikel ini merupakan nasihat dari Prof. Dr. Ir. K.H. Mohammad Nuh, DEA.
Yang saya ambil dari sebuah buku spektakuler berjudul The Islamic Golden Rules, karya Prof. Laode M Kamualuddin (Rektor Unissula) dan Ahmad Mujib El-Shirazy (Penulis, Pakar Peradaban, Adalah Adik Kandung Dari Penulis Tersohor Habiburrahman El-Shirazy)

*) Saat tulisan ini dibuat, penulis (Prof. M. Nuh) sedang mengemban amanah sebagai Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, bukan dalam kapasitas penulis sebagai seorang Mendiknas. Mengenai bagaimana Adab saat Thalab Al – ‘Ilmi.

Dalam ajaran Islam, Baginda Rasulullah Saw. memerintahkan, bahkan mewajibkan umatnya untuk thalab al – ‘ilm (murih ilmu). Rasulullah bersabda, thalab al – ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin, murih ilmu itu wajib bagi orang Islam laki-laki dan orang Islam perempuan.
Perintah Baginda Rasulullah tersebut jika kita renungkan sesungguhnya mengandung makna yang sangat dalam. Dan apabila makna itu kita pahami dengan baik, niscaya kita, umat Islam, akan selalu meraih kejayaan dan selalu berada di garda depan peradaban anak manusia. Mengapa bisa demikian?

Perintah Rasulullah untuk thalab (murih) ‘ilmi (ilmu) ternyata bukan sembarang perintah. Apa itu thalab yang saya terjemahkan dengan kata “murih”? Sengaja memang saya menerjemahkan bahasa Arab thalab dengan kata “murih” (bahasa Jawa, waktu saya pernah nyantri di pesantren dulu) bukan kata mencari sebagaimana lazimnya diterjemahkan oleh banyak orang sekarang.
Karena memang, murih itu berbeda dengan mencari. Dalam bahasa Jawa-Pesantren, murih itu artinya mencari dengan disertai segenap sikap keikhlasan, ketawadhuan, kematangan dan kesungguh-sungguhan berbudi pekerti. Dalam pengertian inilah, maka murih ilmu (thalab al – ‘ilmi) berarti mencari ilmu dengan disertai segenap sikap keikhlasan, ketawadhuan, kematangan, dan kesungguh-sungguhan berbudi pekerti.

Mengingat begitu dalamnya makna murih (thalab) itulah, para kiai saya dulu juga menyandingkan makna murih dengan ngudi. Thalab al – ‘ilmi berarti juga ngudi ilmu. Yaitu mencari ilmu dengan disertai segenap sikap kebudipekertian. Bahwa ilmu itu harus menghasilkan budi pekerti bagi pemiliknya itulah maksud ngudi ilmu atau thalab al – ‘ilmi.

Jadi, sabda Rasulullah thalab al – ‘ilmi itu bukan sekedar mencari ilmu, tapi murih ilmu atau ngudi ilmu. Yaitu, sekali lagi, mencari ilmu dengan disertai segenap sikap keikhlasan, ketawadhuan, kematangan, dan kesungguh-sungguhan berbudi pekerti, sehingga pada akhirnya ilmu itu menghasilkan budi pekerti bagi pemiliknya.
Karenanya siapa yang harus ikhas? Siapa yang harus tawadhu? Siapa yang harus matang? Dan siapa yang harus berbudi pekerti? Ya dua arah, murid sebagai pencari ilmu, dan guru sebagai pemberi ilmu. Itulah makna thalab al – ‘ilmi yang dikehendaki Rasulullah, yang saya tangkap.

Murih atau ngudi itu berbeda dengan mencari. Sebab, dalam bahasa Jawa-Pesantren, kalimat mencari itu diartikan dengan nggolek. Nah, nggolek ini maknanya ya sekedar mencari, tanpa harus disertai segenap sikap keikhlasan, ketawadhuan, kematangan, dan kesungguh-sungguhan berbudi pekerti.
Penjelasan mengenai perbedaan makna “mencari” yang murih dengan “mencari” yang nggolek, akan semakin gamblang dengan ilustrasi sebagai berikut:

Mencari dalam makna yang murih itu ibarat orang yang mencari buah mangga yang masak, enak, lezat dan pasti manisnya. Nah, mangga dengan kualitas masak, enak, lezat dan pasti manis, niscaya hanya akan kita dapat di buah mangga yang masak alami. Orang Jawa bilang, mateng wit (masak alami di pohon). Bukan buah mangga yang karbitan.
Dus, waktu kecil dulu, di kampung saya, jika musim mangga tiba, sehabis shalat subuh – (dan memang saya dan beberapa teman saya biasanya kalau malam itu tidur di surau kecil atau di masjid kampung kami) – saya dengan beberapa teman sepermainan saya itu, biasa mencari buah mangga yang mateng wit tadi yang sudah jatuh ke tanah.
Lha, mencari ilmu (thalab ‘ilm) dalam pengertian murih ilmu itu, analog persisnya ya seperti saya dan beberapa teman saya, saat kami mencari buah mangga yang mateng wit tadi. Mangga yang mateng wit itu ibaratnya adalah orang yang memberi ilmu. Kalau dalam dunia pendidikan ya sebut saja mereka adalah guru. Dan saya dan beberapa teman saya itu ibaratnya adalah orang yang mencari ilmu. Kalau dalam dunia pendidikan ya sebut saja sebagai murid.

Karena itulah, dalam epistimologi thalab ‘ilm, layaknya buah mangga yang masak di pohon (mateng wit), seorang guru hendaknya memiliki kematangan kemampuan dan sifat-kepribadian seperti buah mangga mateng wit.
Ya, ibarat buah mangga yang mateng wit;
pertama, seorang guru harus memiliki kematangan-kematangan buah mangga yang mateng wit. Yaitu kematangan-kemampuan ilmu yang benar-benar matang, mumpuni, dan masak. Ya, ilmu seorang guru harus benar-benar masak. Harus mantesi lan mantesi, kata kiai saya. Jadi, seseorang yang telah menjadi guru, ilmunya harus dalam. Ia patut menjadi seorang guru karena kelayakan dan kedalaman ilmunya.
Guru yang memiliki kelayakan dan kedalaman ilmu, takkan sedih bila dimaki, dan takkan tinggi hati bila dipuji. Guru yang memiliki kelayakan dan kedalaman ilmu, takkan takut jika muridnya lebih pintar dan lebih pandai dari dirinya. Bahkan, guru itu justru berharap agar semua murid-muridnya menjadi lebih pintar, lebih pandai, dan lebih bijak dari dirinya.
Sayang, guru yang memiliki kualifikasi kematangan-kemampuan ilmu seperti matangnya buah mangga yang mateng wit, nyaris tidak kita temukan di dunia pendidikan Tanah Air. Buktinya, kala ujian nasional datang, tidak sedikit dari guru-guru kita yang justru mengkoordinir murid-muridnya agar siap-siap menerima jawaban ujian nasional lewat sms atau lainnya, dengan harapan agar nilai ujian nasional murid-muridnya tidak memalukan dan memilukan dirinya sebagai seorang guru pengampu pelajaran. Lebih dari itu, juga agar “martabat’ dan “kehormatan” institusi sekolahan tempat ia mengajar tidak jatuh gara-gara banyak muridnya yang tidak lulus.
Itulah kira-kira laporan yang kerap saya terima sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Hanya laporan lisan, dan begitu saya suruh mem-follow-up-i secara tertulis agar dilakukan investivigasi kebenaran laporan itu, hingga kini tak kunjung ditemukan data konkret dan akurat yang sampai ke meja saya. Toh begitu, sesungguhnya saya susah untuk tidak mempercayai laporan lisan tersebut.
Nah, guru dengan jenis kualitas seperti itu pastilah bukan jenis guru yang layak dan matang ilmunya.

Kedua, seorang guru harus memiliki sifat-kepribadian buah mangga yang mateng wit. Yaitu, sifat-kepribadian yang ikhlas ketika memberikan ilmunya kepada murid, seperti ikhlasnya buah mangga mateng wit yang menjatuhkan dirinya ke tanah, begitu dirinya benar-benar sudah matang.
Ya, hanya buah mangga yang benar-benar telah masak di pohonlah yang rela dengan ikhlas menjatuhkan dirinya ke tanah, untuk kemudian begitu telah jatuh di tanah, ia rela diambil siapa saja tanpa protes. Ia rela jika diambil orang yang melihat. Ia juga rela jika kemudian dimakan binatang, dipatuk ayam, dan lain sebagainya. Bahkan ia juga rela atau ikhlas lillahi ta’ala, jika kemudian harus membusuk di tanah untuk menjadi kompos penyubur tanah, yang akan memberikan saripati gizi bagi tumbuh-tumbuhan yang akan menyerap dirinya.
Bila guru memiliki keikhlasan demikian, maka sungguh akan berkahlah ilmu yang ia berikan kepada murid-muridnya. Guru dengan tingkat keikhlasan buah mangga mateng wit, pastilah guru yang benar-benar telah matang ilmunya. Dan guru dengan kematangan dan keikhlasan seperti itu, niscaya hanya akan mementingkan muridnya.
Ia tak terlalu memedulikan dirinya. Ia takkan berteriak lantang bila gajinya tak kunjung datang. Ia tak perlu demo besar-besaran, bahkan sampai merusak gedung sekolahannya sendiri, bila kepangkatan dan status kepegawaiannya tak kunjung dinaikkan.
Nah, sayangnya guru yang memiliki keikhlasan buah mangga yang mateng wit kala menjatuhkan dirinya ke tanah, jarang kita temui di dunia pendidikan kita. Kalaulah ada, sepertinya hanya terdapat di pesantren-pesantren tempo dulu, yang diasuh oleh para kiai yang benar-benar ikhlas seperti ikhlasnya para Nabi kala mendakwahi umatnya. Rela dihina dan dimaki. Rela tak menerima gaji. Bahkan cenderung tidak mau bila digaji.
Lihatlah kiai-kiai tempo dulu, biasanya mereka tak mau digaji oleh santrinya. Untuk memberi nafkah keluarganya, mereka cukup dengan berdagang di pasar, atau menanam padi di sawah. Mereka tidak hidup dari pesantren atau santri, tetapi mereka justru menghidupi pesantren dan santrinya.
Alangkah dahsyatnya apabila guru-guru kita memiliki sifat-kepribadian sebagaimana saya ilustrasikan di atas. Masih adakah guru-guru yang memiliki sifat-kepribadian seperti itu?

Sampai disini, apa yang saya terangkan di atas baru dari aspek gurunya (orang yang berilmu dan memberikan ilmu). Lantas bagaimana dari sisi muridnya atau orang yang mencari ilmu.
Layaknya, saya dan teman-teman sepermainan saya di waktu kecil dulu yang mencari buah mangga mateng wit, maka seorang pencari ilmu haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
Pertama, ketika mencari mangga mateng wit, kami hanya mencari mangga mateng wit yang sudah jatuh ke tanah. Jika masih di atas pohon, meskipun sudah matang, maka kami tetap tidak berani.

Paling tidak oleh dua sebab utama;
(a) Pasti tidak dihalalkan oleh sang pemilik pohon mangga karena dianggap mencuri. Lain jika sudah jatuh, sang pemilik pohon mangga pasti menghalalkannya karena dianggap rezeki dari Allah bagi siapa saja yang menemukannya;
(b) Pasti disebut pencuri jika mengambil buah mangga mateng wit yang belum jatuh ke tanah. Dan bila ketangkap atau ketahuan pemilik pohon mangga, pasti dilaporkan ke orang tua kami atau ke guru ngaji kami. Tak hanya itu, jika pemilik pohon mangga masih tidak terima bisa-bisa kami dilaporkan ke polisi. Dan jika sudah seperti itu maka runtuhlah seluruh kehormatan keluarga kami.

Begitu juga seorang murid, hendaknya mencari guru yang benar-benar sudah mateng wit. Yaitu guru yang matang ilmunya, dan ikhlas ketika memberikan ilmunya. Jadi, ilmu guru itu benar-benar halal, lezat, manis, gurih, enak dan berkah bila kita serap. Persis ketika kita makan buah mangga yang mateng wit yang sudah jatuh ke tanah; halal, lezat, manis, gurih enak dan berkah.
Jadi, seorang murid jangan “memakan” ilmu guru yang belum matang dan tidak ikhlas. Pasti kecut rasanya, dan bikin “sakit perut” (baca: “sakit jiwa”) jika kebanyakan memakannya. Persis seperti ketika kita memakan buah mangga mentah; kecut rasanya, dan bikin sakit perut jika kebanyakan memakannya.

Kedua, dalam mencari buah mangga mateng wit yang telah jatuh ke tanah, saat mengambilnya pastilah kami membungkuk. Artinya apa? Bagi seorang pencari ilmu (murid) ketika mengambil ilmu dari gurunya harus penuh ketawadhuan yang disimbolkan dengan membungkuk saat seseorang mengambil buah mangga mateng wit yang sudah jatuh ke tanah.
Karena sang guru sudah dengan ikhlas menjatuhkan ilmunya seperti buah mangga mateng wit yang menjatuhkan dirinya ke tanah, maka seorang murid juga harus tawadhu’ ketika mengambil ilmunya, seperti seorang pencari mangga mateng wit yang sudah jatuh ke tanah pasti membungkuk kala mengambilnya. Guru ikhlas, murid tawadhu’, begitulah rumusnya, indah sekali bukan?

Sayangnya, sekarang ini kita susah untuk mencari murid yang mau seperti itu. Kebanyakan murid sekarang ini maunya instan. Mereka tidak mau mencari guru yang benar-benar matang. Tak hanya mencari guru yang benar-benar matang, bahkan mereka tidak memiliki sifat tawadhu’ kala mencerap ilmu gurunya tersebut. Mereka berani membantah, mendemo, dan mempermalukan gurunya. Bahkan mengancam gurunya segala jika tidak memberikan nilai yang bagus kepadanya.

Akhirnya, yang ada saat sekarang ini adalah guru yang tidak matang dan ikhlas, dan murid yang instan dan tidak tawadhu’. Tepatlah jika budayawan Muslim kita, Taufiq Ismail, lantas menyindir fenomena demikian dengan puisi apiknya yang pernah saya dengar kala dibacanya dalam sebuah acara baca puisi,
Guru kencing berdiri
Murid kencing berlari
(Itu dulu)
.................................
(Tapi kini) ........
Guru kencing berdiri
Murid mengencingi gurunya


Menyedihkan memang fenomena seperti ini. Pertanyaannya kemudian, kenapa fenomena menyedihkan seperti ini bisa terjadi? Ya, setidaknya karena kita selalu memaknai mencari ilmu (thalab ‘ilm) itu tidak dalam kacamata terminologi murih. Tapi mencari sekedar mencari. Yakni dalam kacamata terminologi nggolek.
Karena thalab ‘ilm itu dimaknai dalam kacamata terminologi “mencari” dalam arti nggolek. Jadinya, kita ya tidak peduli dengan bagaimana caranya kita memperoleh ilmu dan kepada siapa kita seharusnya memintanya. Analoginya persis seperti orang yang nggolek buah mangga, ia tidak peduli mangga itu masih mentah ataukah sudah matang. Buah mangga itu masih di atas pohon ataukah sudah jatuh ke tanah. Buah mangga itu milik kebun sendiri ataukah kebun orang lain. Yang penting buah mangga. Titik.

Hasilnya? Meski belum matang, buah mangga itu diambil juga, mengambilnya pun tak perlu tawadhu’ (membungkuk), tetapi malah sampai dengan cara menaiki pohonnya, jika tidak bisa menaiki, ya memakai kayu untuk menyodoknya, jika tak ada sesuatu yang dapat di gunakan untu menyodok, ya memakai batu untuk kemudian melemparinya sampai buah mangga itu diperolehnya. Karena menaiki, karena menyodok, karena melempari batu itulah, maka pencari (baca: nggolek) buah mangga itu nyaris tak pernah melihat ke bawah/tanah (tawadhu’) seperti para pencari (baca: murih) buah mangga mateng wit yang justru selalu melihat ke bawah/tanah.
Terminologi nggolek dan bukan murih ilmu itulah, sepertinya yang banyak terjadi pada saat sekarang ini. Dan hasilnya sudah sama-sama kita ketahui. Yaitu:
Guru kencing berdiri
Murid mengencingi gurunya
........

Subhanallah.. itulah kira-kira inti nasihat yang sangat luar biasa dari seorang Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) kita tercinta, Prof. Muhammad Nuh.
Sangat jelas ya bagi kita, dan kita dapat pula mengaca, membandingkan sebenarnya bagaimana adab atau tatacara kita dalam mencari ilmu selama ini?
Apakah dalam terminologi murih, atau sekedar nggolek?
Maka jika sampai saat ini kita masih belum banyak perubahan, padahal sudah belajar dan mencari ilmu bertahun-tahun lamanya, pastilah ada yang salah dengan cara dan proses kita selama mencari ilmu tadi :)

Nah, setelah kita semua mendapat pencerahan dari Prof. Nuh, mari kita memperbaiki cara kita dalam murih ilmu. Sehingga pada akhirnya kita akan benar-benar menjadi semakin mulia dengan ilmu kita.
Amin ya Rabb..

4 komentar:

  1. عن ابْنُ مَسْعُودٍ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ ، تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ ، تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ ، فَإِنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوضٌ ، وَالْعِلْمُ سَيُنْتَقَصُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى فَرِيضَةٍ لاَ يَجِدَانِ أَحَداً يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا.[1] رواه الدارمى والدارقطنى
    Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Rasulullah saw. berkata kepadaku ‘Tuntutlah ilmu pengetahuan dan ajarkanlah kepada orang lain. Tuntutlah ilmu kewarisan dan ajarkanlah kepada orang lain. Pelajarilah Alquran dan ajarkanlah kepada orang lain. Saya ini akan mati. Ilmu akan berkurang dan cobaan akan semakin banyak, sehingga terjadi perbedaan pendapat antara dua orang tentang suatu kewajiban, mereka tidak menemukan seorang pun yang dapat menyelesaikannya.’

    BalasHapus
  2. ada beberapa hal yang saya bisa tanggkap dari artikel iniadalah
    belajar adalah suatu kewajiban yang bagi kia sebagai seorang muslim
    “Thalabul ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin.

    2. keikhlasan : sebuah kata yang sangat sederhana tapi sangat sukar sekali dalam menjalankan nya.

    BalasHapus
  3. Makasi f .. :)
    "Aku belajar satu bab saja dari sebuah ilmu pengetahuan, kemudian aku mengajarkannya kepada saudaraku muslim yang lain. Maka ini lebih aku cintai daripada aku memiliki seluruh dunia dan harta benda yang ada didalamnya, kemudian aku infaqkan seluruhnya di jalan Allah."
    -- Hasan Al Bashri --
    Subhanallah .. kecintaan para alim ulama kita dahulu terhadap ilmu pengetahuan luar biasa besarnya ..

    BalasHapus
  4. siiip t...
    makasi udah share ilmu..
    beberapa hari ini f juga lagi buat coretan kecil tapi lum sempetn di pos t...
    cz masih banyak yang kurang...
    f harus banyak belajar lagi dan banyak baca2 artikel lagi...
    semangatz..

    BalasHapus