salam

Minggu, 01 Mei 2011

Thalab Al – ‘Ilmi

Saya menulis artikel ini spesial untuk para penuntut ilmu, saudara-saudara muslim seiman yang sangat bersemangat dalam mencari ilmu, dalam rangka menjalankan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala.
Dan juga bertepatan dengan selesainya Ujian Nasional yang telah ditempuh oleh para pelajar, baik itu pelajar SMA, maupun pelajar SMP di seluruh Indonesia.
Semoga Allah Swt. memberikan hasil dan nilai terbaik untuk setiap apa yang mereka usahakan, Amin ya Rabb ..

Artikel ini merupakan nasihat dari Prof. Dr. Ir. K.H. Mohammad Nuh, DEA.
Yang saya ambil dari sebuah buku spektakuler berjudul The Islamic Golden Rules, karya Prof. Laode M Kamualuddin (Rektor Unissula) dan Ahmad Mujib El-Shirazy (Penulis, Pakar Peradaban, Adalah Adik Kandung Dari Penulis Tersohor Habiburrahman El-Shirazy)

*) Saat tulisan ini dibuat, penulis (Prof. M. Nuh) sedang mengemban amanah sebagai Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, bukan dalam kapasitas penulis sebagai seorang Mendiknas. Mengenai bagaimana Adab saat Thalab Al – ‘Ilmi.

Dalam ajaran Islam, Baginda Rasulullah Saw. memerintahkan, bahkan mewajibkan umatnya untuk thalab al – ‘ilm (murih ilmu). Rasulullah bersabda, thalab al – ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin, murih ilmu itu wajib bagi orang Islam laki-laki dan orang Islam perempuan.
Perintah Baginda Rasulullah tersebut jika kita renungkan sesungguhnya mengandung makna yang sangat dalam. Dan apabila makna itu kita pahami dengan baik, niscaya kita, umat Islam, akan selalu meraih kejayaan dan selalu berada di garda depan peradaban anak manusia. Mengapa bisa demikian?

Perintah Rasulullah untuk thalab (murih) ‘ilmi (ilmu) ternyata bukan sembarang perintah. Apa itu thalab yang saya terjemahkan dengan kata “murih”? Sengaja memang saya menerjemahkan bahasa Arab thalab dengan kata “murih” (bahasa Jawa, waktu saya pernah nyantri di pesantren dulu) bukan kata mencari sebagaimana lazimnya diterjemahkan oleh banyak orang sekarang.
Karena memang, murih itu berbeda dengan mencari. Dalam bahasa Jawa-Pesantren, murih itu artinya mencari dengan disertai segenap sikap keikhlasan, ketawadhuan, kematangan dan kesungguh-sungguhan berbudi pekerti. Dalam pengertian inilah, maka murih ilmu (thalab al – ‘ilmi) berarti mencari ilmu dengan disertai segenap sikap keikhlasan, ketawadhuan, kematangan, dan kesungguh-sungguhan berbudi pekerti.

Mengingat begitu dalamnya makna murih (thalab) itulah, para kiai saya dulu juga menyandingkan makna murih dengan ngudi. Thalab al – ‘ilmi berarti juga ngudi ilmu. Yaitu mencari ilmu dengan disertai segenap sikap kebudipekertian. Bahwa ilmu itu harus menghasilkan budi pekerti bagi pemiliknya itulah maksud ngudi ilmu atau thalab al – ‘ilmi.

Jadi, sabda Rasulullah thalab al – ‘ilmi itu bukan sekedar mencari ilmu, tapi murih ilmu atau ngudi ilmu. Yaitu, sekali lagi, mencari ilmu dengan disertai segenap sikap keikhlasan, ketawadhuan, kematangan, dan kesungguh-sungguhan berbudi pekerti, sehingga pada akhirnya ilmu itu menghasilkan budi pekerti bagi pemiliknya.
Karenanya siapa yang harus ikhas? Siapa yang harus tawadhu? Siapa yang harus matang? Dan siapa yang harus berbudi pekerti? Ya dua arah, murid sebagai pencari ilmu, dan guru sebagai pemberi ilmu. Itulah makna thalab al – ‘ilmi yang dikehendaki Rasulullah, yang saya tangkap.

Murih atau ngudi itu berbeda dengan mencari. Sebab, dalam bahasa Jawa-Pesantren, kalimat mencari itu diartikan dengan nggolek. Nah, nggolek ini maknanya ya sekedar mencari, tanpa harus disertai segenap sikap keikhlasan, ketawadhuan, kematangan, dan kesungguh-sungguhan berbudi pekerti.
Penjelasan mengenai perbedaan makna “mencari” yang murih dengan “mencari” yang nggolek, akan semakin gamblang dengan ilustrasi sebagai berikut:

Mencari dalam makna yang murih itu ibarat orang yang mencari buah mangga yang masak, enak, lezat dan pasti manisnya. Nah, mangga dengan kualitas masak, enak, lezat dan pasti manis, niscaya hanya akan kita dapat di buah mangga yang masak alami. Orang Jawa bilang, mateng wit (masak alami di pohon). Bukan buah mangga yang karbitan.
Dus, waktu kecil dulu, di kampung saya, jika musim mangga tiba, sehabis shalat subuh – (dan memang saya dan beberapa teman saya biasanya kalau malam itu tidur di surau kecil atau di masjid kampung kami) – saya dengan beberapa teman sepermainan saya itu, biasa mencari buah mangga yang mateng wit tadi yang sudah jatuh ke tanah.
Lha, mencari ilmu (thalab ‘ilm) dalam pengertian murih ilmu itu, analog persisnya ya seperti saya dan beberapa teman saya, saat kami mencari buah mangga yang mateng wit tadi. Mangga yang mateng wit itu ibaratnya adalah orang yang memberi ilmu. Kalau dalam dunia pendidikan ya sebut saja mereka adalah guru. Dan saya dan beberapa teman saya itu ibaratnya adalah orang yang mencari ilmu. Kalau dalam dunia pendidikan ya sebut saja sebagai murid.

Karena itulah, dalam epistimologi thalab ‘ilm, layaknya buah mangga yang masak di pohon (mateng wit), seorang guru hendaknya memiliki kematangan kemampuan dan sifat-kepribadian seperti buah mangga mateng wit.
Ya, ibarat buah mangga yang mateng wit;
pertama, seorang guru harus memiliki kematangan-kematangan buah mangga yang mateng wit. Yaitu kematangan-kemampuan ilmu yang benar-benar matang, mumpuni, dan masak. Ya, ilmu seorang guru harus benar-benar masak. Harus mantesi lan mantesi, kata kiai saya. Jadi, seseorang yang telah menjadi guru, ilmunya harus dalam. Ia patut menjadi seorang guru karena kelayakan dan kedalaman ilmunya.
Guru yang memiliki kelayakan dan kedalaman ilmu, takkan sedih bila dimaki, dan takkan tinggi hati bila dipuji. Guru yang memiliki kelayakan dan kedalaman ilmu, takkan takut jika muridnya lebih pintar dan lebih pandai dari dirinya. Bahkan, guru itu justru berharap agar semua murid-muridnya menjadi lebih pintar, lebih pandai, dan lebih bijak dari dirinya.
Sayang, guru yang memiliki kualifikasi kematangan-kemampuan ilmu seperti matangnya buah mangga yang mateng wit, nyaris tidak kita temukan di dunia pendidikan Tanah Air. Buktinya, kala ujian nasional datang, tidak sedikit dari guru-guru kita yang justru mengkoordinir murid-muridnya agar siap-siap menerima jawaban ujian nasional lewat sms atau lainnya, dengan harapan agar nilai ujian nasional murid-muridnya tidak memalukan dan memilukan dirinya sebagai seorang guru pengampu pelajaran. Lebih dari itu, juga agar “martabat’ dan “kehormatan” institusi sekolahan tempat ia mengajar tidak jatuh gara-gara banyak muridnya yang tidak lulus.
Itulah kira-kira laporan yang kerap saya terima sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Hanya laporan lisan, dan begitu saya suruh mem-follow-up-i secara tertulis agar dilakukan investivigasi kebenaran laporan itu, hingga kini tak kunjung ditemukan data konkret dan akurat yang sampai ke meja saya. Toh begitu, sesungguhnya saya susah untuk tidak mempercayai laporan lisan tersebut.
Nah, guru dengan jenis kualitas seperti itu pastilah bukan jenis guru yang layak dan matang ilmunya.

Kedua, seorang guru harus memiliki sifat-kepribadian buah mangga yang mateng wit. Yaitu, sifat-kepribadian yang ikhlas ketika memberikan ilmunya kepada murid, seperti ikhlasnya buah mangga mateng wit yang menjatuhkan dirinya ke tanah, begitu dirinya benar-benar sudah matang.
Ya, hanya buah mangga yang benar-benar telah masak di pohonlah yang rela dengan ikhlas menjatuhkan dirinya ke tanah, untuk kemudian begitu telah jatuh di tanah, ia rela diambil siapa saja tanpa protes. Ia rela jika diambil orang yang melihat. Ia juga rela jika kemudian dimakan binatang, dipatuk ayam, dan lain sebagainya. Bahkan ia juga rela atau ikhlas lillahi ta’ala, jika kemudian harus membusuk di tanah untuk menjadi kompos penyubur tanah, yang akan memberikan saripati gizi bagi tumbuh-tumbuhan yang akan menyerap dirinya.
Bila guru memiliki keikhlasan demikian, maka sungguh akan berkahlah ilmu yang ia berikan kepada murid-muridnya. Guru dengan tingkat keikhlasan buah mangga mateng wit, pastilah guru yang benar-benar telah matang ilmunya. Dan guru dengan kematangan dan keikhlasan seperti itu, niscaya hanya akan mementingkan muridnya.
Ia tak terlalu memedulikan dirinya. Ia takkan berteriak lantang bila gajinya tak kunjung datang. Ia tak perlu demo besar-besaran, bahkan sampai merusak gedung sekolahannya sendiri, bila kepangkatan dan status kepegawaiannya tak kunjung dinaikkan.
Nah, sayangnya guru yang memiliki keikhlasan buah mangga yang mateng wit kala menjatuhkan dirinya ke tanah, jarang kita temui di dunia pendidikan kita. Kalaulah ada, sepertinya hanya terdapat di pesantren-pesantren tempo dulu, yang diasuh oleh para kiai yang benar-benar ikhlas seperti ikhlasnya para Nabi kala mendakwahi umatnya. Rela dihina dan dimaki. Rela tak menerima gaji. Bahkan cenderung tidak mau bila digaji.
Lihatlah kiai-kiai tempo dulu, biasanya mereka tak mau digaji oleh santrinya. Untuk memberi nafkah keluarganya, mereka cukup dengan berdagang di pasar, atau menanam padi di sawah. Mereka tidak hidup dari pesantren atau santri, tetapi mereka justru menghidupi pesantren dan santrinya.
Alangkah dahsyatnya apabila guru-guru kita memiliki sifat-kepribadian sebagaimana saya ilustrasikan di atas. Masih adakah guru-guru yang memiliki sifat-kepribadian seperti itu?

Sampai disini, apa yang saya terangkan di atas baru dari aspek gurunya (orang yang berilmu dan memberikan ilmu). Lantas bagaimana dari sisi muridnya atau orang yang mencari ilmu.
Layaknya, saya dan teman-teman sepermainan saya di waktu kecil dulu yang mencari buah mangga mateng wit, maka seorang pencari ilmu haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
Pertama, ketika mencari mangga mateng wit, kami hanya mencari mangga mateng wit yang sudah jatuh ke tanah. Jika masih di atas pohon, meskipun sudah matang, maka kami tetap tidak berani.

Paling tidak oleh dua sebab utama;
(a) Pasti tidak dihalalkan oleh sang pemilik pohon mangga karena dianggap mencuri. Lain jika sudah jatuh, sang pemilik pohon mangga pasti menghalalkannya karena dianggap rezeki dari Allah bagi siapa saja yang menemukannya;
(b) Pasti disebut pencuri jika mengambil buah mangga mateng wit yang belum jatuh ke tanah. Dan bila ketangkap atau ketahuan pemilik pohon mangga, pasti dilaporkan ke orang tua kami atau ke guru ngaji kami. Tak hanya itu, jika pemilik pohon mangga masih tidak terima bisa-bisa kami dilaporkan ke polisi. Dan jika sudah seperti itu maka runtuhlah seluruh kehormatan keluarga kami.

Begitu juga seorang murid, hendaknya mencari guru yang benar-benar sudah mateng wit. Yaitu guru yang matang ilmunya, dan ikhlas ketika memberikan ilmunya. Jadi, ilmu guru itu benar-benar halal, lezat, manis, gurih, enak dan berkah bila kita serap. Persis ketika kita makan buah mangga yang mateng wit yang sudah jatuh ke tanah; halal, lezat, manis, gurih enak dan berkah.
Jadi, seorang murid jangan “memakan” ilmu guru yang belum matang dan tidak ikhlas. Pasti kecut rasanya, dan bikin “sakit perut” (baca: “sakit jiwa”) jika kebanyakan memakannya. Persis seperti ketika kita memakan buah mangga mentah; kecut rasanya, dan bikin sakit perut jika kebanyakan memakannya.

Kedua, dalam mencari buah mangga mateng wit yang telah jatuh ke tanah, saat mengambilnya pastilah kami membungkuk. Artinya apa? Bagi seorang pencari ilmu (murid) ketika mengambil ilmu dari gurunya harus penuh ketawadhuan yang disimbolkan dengan membungkuk saat seseorang mengambil buah mangga mateng wit yang sudah jatuh ke tanah.
Karena sang guru sudah dengan ikhlas menjatuhkan ilmunya seperti buah mangga mateng wit yang menjatuhkan dirinya ke tanah, maka seorang murid juga harus tawadhu’ ketika mengambil ilmunya, seperti seorang pencari mangga mateng wit yang sudah jatuh ke tanah pasti membungkuk kala mengambilnya. Guru ikhlas, murid tawadhu’, begitulah rumusnya, indah sekali bukan?

Sayangnya, sekarang ini kita susah untuk mencari murid yang mau seperti itu. Kebanyakan murid sekarang ini maunya instan. Mereka tidak mau mencari guru yang benar-benar matang. Tak hanya mencari guru yang benar-benar matang, bahkan mereka tidak memiliki sifat tawadhu’ kala mencerap ilmu gurunya tersebut. Mereka berani membantah, mendemo, dan mempermalukan gurunya. Bahkan mengancam gurunya segala jika tidak memberikan nilai yang bagus kepadanya.

Akhirnya, yang ada saat sekarang ini adalah guru yang tidak matang dan ikhlas, dan murid yang instan dan tidak tawadhu’. Tepatlah jika budayawan Muslim kita, Taufiq Ismail, lantas menyindir fenomena demikian dengan puisi apiknya yang pernah saya dengar kala dibacanya dalam sebuah acara baca puisi,
Guru kencing berdiri
Murid kencing berlari
(Itu dulu)
.................................
(Tapi kini) ........
Guru kencing berdiri
Murid mengencingi gurunya


Menyedihkan memang fenomena seperti ini. Pertanyaannya kemudian, kenapa fenomena menyedihkan seperti ini bisa terjadi? Ya, setidaknya karena kita selalu memaknai mencari ilmu (thalab ‘ilm) itu tidak dalam kacamata terminologi murih. Tapi mencari sekedar mencari. Yakni dalam kacamata terminologi nggolek.
Karena thalab ‘ilm itu dimaknai dalam kacamata terminologi “mencari” dalam arti nggolek. Jadinya, kita ya tidak peduli dengan bagaimana caranya kita memperoleh ilmu dan kepada siapa kita seharusnya memintanya. Analoginya persis seperti orang yang nggolek buah mangga, ia tidak peduli mangga itu masih mentah ataukah sudah matang. Buah mangga itu masih di atas pohon ataukah sudah jatuh ke tanah. Buah mangga itu milik kebun sendiri ataukah kebun orang lain. Yang penting buah mangga. Titik.

Hasilnya? Meski belum matang, buah mangga itu diambil juga, mengambilnya pun tak perlu tawadhu’ (membungkuk), tetapi malah sampai dengan cara menaiki pohonnya, jika tidak bisa menaiki, ya memakai kayu untuk menyodoknya, jika tak ada sesuatu yang dapat di gunakan untu menyodok, ya memakai batu untuk kemudian melemparinya sampai buah mangga itu diperolehnya. Karena menaiki, karena menyodok, karena melempari batu itulah, maka pencari (baca: nggolek) buah mangga itu nyaris tak pernah melihat ke bawah/tanah (tawadhu’) seperti para pencari (baca: murih) buah mangga mateng wit yang justru selalu melihat ke bawah/tanah.
Terminologi nggolek dan bukan murih ilmu itulah, sepertinya yang banyak terjadi pada saat sekarang ini. Dan hasilnya sudah sama-sama kita ketahui. Yaitu:
Guru kencing berdiri
Murid mengencingi gurunya
........

Subhanallah.. itulah kira-kira inti nasihat yang sangat luar biasa dari seorang Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) kita tercinta, Prof. Muhammad Nuh.
Sangat jelas ya bagi kita, dan kita dapat pula mengaca, membandingkan sebenarnya bagaimana adab atau tatacara kita dalam mencari ilmu selama ini?
Apakah dalam terminologi murih, atau sekedar nggolek?
Maka jika sampai saat ini kita masih belum banyak perubahan, padahal sudah belajar dan mencari ilmu bertahun-tahun lamanya, pastilah ada yang salah dengan cara dan proses kita selama mencari ilmu tadi :)

Nah, setelah kita semua mendapat pencerahan dari Prof. Nuh, mari kita memperbaiki cara kita dalam murih ilmu. Sehingga pada akhirnya kita akan benar-benar menjadi semakin mulia dengan ilmu kita.
Amin ya Rabb..

Sabtu, 09 April 2011

Antara Beribadah dan Taat Kepada Suami

Dari (sanat) Abu Sa’id Al – Khurdi r.a. yang berkata,
“Suatu hari, kami (para sahabat) sedang duduk bersama Rasulullah Saw. tiba-tiba, datanglah seorang perempuan.”
Perempuan tersebut berkata,
“Suamiku, Shafwan bin Al – Mu’aththal, menepukku (punggung) ketika aku sedang shalat, memaksaku untuk berbuka puasa ketika aku sedang berpuasa (membatalkan), dan ia sendiri tidak melaksanakan shalat subuh hingga matahari terbit.”

Ketika itu, Shafwan yang merupakan suami dari perempuan tersebut, sekaligus sahabat Rasulullah Saw. sedang berada disamping beliau, ikut berkumpul bersama para sahabat lainnya.
Dan Rasulullah pun menanyakan kebenaran perihal pengaduan istrinya tersebut kepada Shafwan.

Shafwan menjawab,
“Ya Rasulullah, pengaduan-pengaduan istriku bahwa aku menepuknya ketika ia sedang shalat benar. Hal itu karena ia membaca dua surah yang telah aku larang sebelumnya.”
Mendengar hal itu, Rasulullah Saw. bersabda,
“Seandainya hanya satu surah pun (setelah Al – Fatihah), hal itu cukup bagi orang-orang.”

Kemudian Shafwan melanjutkan,
“Mengenai pengaduannya bahwa aku telah memaksanya berbuka puasa ketika ia sedang berpuasa, hal itu benar. Karena ia tetap berpuasa padahal aku sudah melarangnya, dan aku adalah laki-laki yang masih muda dan tidak bisa bersabar.”
Mendengar hal itu, Rasulullah Saw. bersabda,
“Seorang perempuan hanya boleh berpuasa apabila telah mendapatkan izin dari suaminya.”

Shafwan berkata lagi,
“Mengenai pengaduannya bahwa aku tidak melaksanakan shalat subuh hingga matahari terbit, hal itu benar. Karena kami sering kali bangun setelah matahari terbit.”
Mendengar hal itu, Rasulullah Saw. bersabda,
“Apabila bangun tidur, maka shalatlah seketika itu pula, wahai Shafwan .!”
HR. Abu Dawud, Ibn Hibban, Al – Hakim, dan Ahmad dengan sanad yang shahih menurut kriteria Al – Bukhari dan Muslim

Dari (sanat)‘Abdullah bin Aufa’ r.a., Rasulullah Saw. bersabda,
“Sekiranya aku diperbolehkan menyuruh seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, maka niscaya aku akan menyuruh istri agar bersujud kepada suaminya. Demi Tuhan yang menguasai diri Muhammad, perempuan dinilai tidak melaksanakan hak Tuhannya sebelum ia memenuhi seluruh hak suaminya. Bahkan, sekiranya suami menginginkan dirinya, sementara ia sedang berada di atas unta, ia tidak boleh menolaknya .!”
HR. Ahmad, Ibn Majah, Ibn Hibban, dan Al – Baihaqi

Dari (sanat) Abu Umamah r.a., Rasulullah Saw. bersabda,
“Ada tiga golongan orang yang shalatnya tidak akan diterima oleh Allah Swt.,
yaitu pertama (1) Budak yang melarikan diri hingga ia kembali,
kedua (2) Istri yang tidur pada malam hari sementara suaminya sedang marah kepadanya,
dan ketiga (3) Orang yang mengimami shalat suatu kaum tetapi mereka (kaum tersebut) tidak menyukainya (imam).”
HR. Al – Tirmidzi


Dari (sanat) Abu Hurairah r.a.
Dikatakan kepada Rasulullah Saw. bahwa si Fullan adalah perempuan yang rajin shalat malam, berpuasa, beramal kebajikan, dan banyak bersedekah, tetapi ia sering menyakiti tetangganya.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda,
“Tidak ada kebaikan baginya dan ia termasuk calon penghuni neraka.”

Para sahabat berkata,
“Si Fullan adalah seorang perempuan yang hanya melaksanakan shalat wajib, bersedekah dengan sepotong keju, tetapi tidak suka menyakiti siapapun.”
Rasulullah Saw. bersabda,
“Ia termasuk calon penghuni surga.”
HR. Al – Bukhari dalam Al – Adab Al – Mufrad


Hadis-hadis di atas menunjukkan beberapa hal,

Pertama, diperlukan keseimbangan dalam memahami ibadah.

Kedua, harus ada keseimbangan di antara ibadah-ibadah dan berbagai bentuk ketaatan serta tidak berlebih-lebihan dalam menampakkan ketaatan.

Ketiga, sangatlah penting bagi seorang istri memahami bahwa memenuhi hak suami adalah di atas segala bentuk ibadah di luar wajib. Memenuhi atau melayani hak suami harus didahulukan atas segala bentuk ibadah sunnah.
Bahkan, ibadah seorang istri bisa tidak berguna karena kemarahan atau ketidak ridho’an sang suami kepadanya (dalam batas-batas yang dibenarkan). Karena itu, sebelum melaksanakan ibadah sunnah, istri sebaiknya meminta izin kepada suaminya.

Keempat,
harus ada keseimbangan antara memenuhi hak Allah dan hak sesama manusia.

Subhanallah... para ikhwan yang berbahagia, kita bisa melihat bagaimana Allah dan Rasulullah begitu mengistimewakan kita dalam mendapatkan hak sebagai seorang suami.
Maka sebagaimana sudah saya tulis dalam artikel-artikel sebelumnya perihal seorang perempuan, tidak sepantasnya kita berlaku tidak baik kepadanya.

Melihat kembali bagaimana istimewanya hak yang diberikan Allah kepada seorang suami, maka pantaslah pula apabila kewajiban kita sebagai seorang suami adalah membahagiakan dan memuliakan istri kita dengan perilaku dan sikap-sikap terpuji,
sebagaimana selalu dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam kehidupan rumah tangganya.


Semoga kita semua menjadi manusia yang lebih baik, semakin bernilai lebih, dan memiliki derajat yang tinggi di mata Allah Swt,
Amin ya Rabb :)

Artikel ini saya ambil dari buku berjudul:
100 Pesan Nabi untuk Wanita
karya Badwi Mahmud Al-Syaikh, 2006, penerbit mizania
halaman (62) .

Minggu, 03 April 2011

Nasihat Ali bin Abu Thalib

Suatu ketika, beberapa saat setelah Abdurrahman Ibn Muljam menikam seorang khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin, Ali bin Abu Thalib r.a.

Dalam keadaannya yang terluka parah, tepat berada di samping Ali, putranya Al Hasan menangis sedih. Apa yang kemudian dilakukan Ali? Ia menyambut tangis putranya dengan memberikan sebuah nasihat yang sangat berharga.

Ali bin Abu Thalib berkata
“Wahai putraku, ingatlah selalu empat hal dan empat hal lagi dariku.”
“Apa itu wahai ayah?” jawab Al Hasan sesenggukan,

Ali melanjutkan
“Yang pertama. Kekayaan yang paling berharga adalah Akal.”
“Kedua. Kekafiran yang paling besar adalah Kebodohan.”
“Ketiga. Sesuatu yang paling keji adalah sikap Ujub.”
“Ke-empat. Sesuatu yang paling Mulia adalah Akhlak yang Mulia.”


Al Hasan berusaha meresapi dan mengingat-ingat nasihat ayah tercintanya, kemudian ia berkata
“Lalu apa empat hal yang lain wahai ayah?”

Ali menjawab
“Pertama. Janganlah engkau bergaul dengan orang Bodoh. Karena ia akan membahayakanmu demi keselamatanmu.”
“Kedua. Janganlah engkau bersahabat dengan seorang Pendusta. Karena ia akan menjauhkan yang dekat darimu, dan mendekatkan yang jauh kepadamu.”
“Ketiga. Janganlah engkau bersahabat dengan seorang yang Bakhil. Karena ia akan mengabaikanmu disaat kamu membutuhkannya.”
“Terakhir. Janganlah engkau bergaul dengan orang yang banyak melakukan Maksiat. Karena ia akan menjualmu dengan harga yang murah, dan membuatmu remeh di mata Allah.”


Al Hasan menangis mendapat petuah yang begitu indah untuknya..

Subhanallah... betapa beruntungnya umat Islam memiliki pemeluk sehebat Ali, maka tidak salah jika ia termasuk ke dalam golongan ahli janah.
Jika boleh saya menafsirkan perihal empat hal dan empat hal lagi dari Ali, ini merupakan sebuah nasihat yang apabila kita mau mengaplikasikannya dalam keseharian kita, maka insyaallah kita akan menjadi semakin Mulia dan dicintai Allah.

Nasihat pertama “Kekayaan yang paling berharga adalah Akal.”
Hal ini benar adanya, karena Akal-lah satu anugrah yang dimiliki manusia yang menjadikannya paling bermartabat di antara mahkluk-mahkluk ciptaan Allah. Sebagaimana sudah saya sampaikan dalam dua artikel sebelumnya yang berjudul Ber-ILMU-lah dan Pesona Keindahan Ilmu.

Nasihat kedua “Kekafiran yang paling besar adalah Kebodohan.”
Nasihat ini juga sangat rasional, masuk akal dan memang fenomena yang terjadi sekarang ini demikian adanya. Jika kita mau menelaah lebih dalam, sebenarnya pangkal dari masalah yang terjadi pada kehidupan seseorang itu kan berasal dari dirinya sendiri.

Kebodohan merupakan sumber dari Kekafiran yang terbesar, orang dengan tingkat pendidikan yang rendah, orang bodoh, sangat berpotensi menjadi kafir. Mengapa demikian?

Orang bodoh itu identik dengan Kemiskinan, karena apa yang bisa ia jual dan ia berikan kepada orang lain? Dia tidak akan memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Seperti apa yang pernah disampaikan oleh seorang ulama besar Imam Syahid Hasan Al Bana,
“Jika seseorang tidak memiliki apapun (ILMU), maka ia juga tidak akan punya sesuatupun untuk diberikan kepada orang lain.”


Kemiskinan sangat dekat dengan Kekufuran, hal ini juga sangat wajar dan manusiawi. Bayangkan saja, jika seseorang sudah bodoh, kemudian ia menjadi miskin karena kebodohannya, maka dengan kemiskinannya apa yang ia miliki untuk disyukuri?

Maaf teman-teman, ini jangan dinilai sebagai sikap yang terlalu berlebihan. Saya hanya memotivasi agar kita semua, khususnya diri saya sendiri termasuk kedalam golongan orang-orang yang ber-Iman dan ber-Ilmu pengetahuan (Qs. Al Mujaadilah:11).

Toh siapa sih yang mau menjadi orang bodoh? Bagaimanapun keadaan kita, jangan pernah menyerah pada keadaan. Dan tentu orang yang ber-Ilmu, kemudian ia bisa hidup bahagia dan sejahtera dengan mengamalkan ilmunya. Akan jauh lebih nikmat dan memiliki banyak hal untuk disyukuri, daripada seorang yang bodoh, yang kemudian miskin karena kebodohannya. Orang miskin tidak memiliki hal sebanyak orang kaya untuk disyukuri. Maka ia berpotensi kufur terhadap nikmat Allah.

(Sekali lagi ini hanya untuk memotivasi ya teman-teman, kalau bisa menjadi orang yang ber-Ilmu dan kaya raya, mengapa memilih untuk hidup miskin? Jangan kemudian karena Islam mengajarkan hidup zuhud dan sederhana, kita semua bersembunyi dibalik agama.)

Naudzubillah.. inilah mindset yang terkadang masih banyak salah, kebanyakan orang muslim masih hidup dibawah garis kesederhanaan (terutama di Indonesia ini.) dan nanti alasannya ketika ditanya perihal kehidupannya, mereka menjawab
“Loh inilah takdir saya dari Allah, lagipula Islam mengajarkan untuk hidup sederhana, yang penting kan bahagia. Dan memang saya orientasinya hidup untuk akhirat. Jadi tidak apa-apa hidup susah dulu di dunia. Daripada kaya banyak dosa, kan mendingan miskin tapi biasa-biasa saja.”

Hehehe. Lucu ya, jangan sampai kita memiliki mindset seperti itu, bersembunyi di balik agama. Memang tidak ada apa orang yang kaya raya tapi tetap bertaqwa? Dan kalau bisa memilih untuk hidup kaya dan bahagia, di dunia maupun akhirat, kenapa tidak dipilih gitu lho..

Sebagaimana Firman Allah: “Dan carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu untuk mencapai (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi....” Qs. Al Qashash:77

Nasihat ketiga “Sesuatu yang paling keji adalah sikap Ujub.”
Sikap ujub merupakan sikap sombong, bangga diri. Kita semua tahu bahwa tidak ada seorangpun yang berhak sombong dengan alasan apapun. Karena sesungguhnya apa yang ingin kita sombongkan? Sementara kita ini tidak memiliki apa-apa.

Kekayaan kita? Itu merupakan titipan dari Allah, toh saat kita meninggal juga hanya membawa kain kafan dan semua amal perbuatan kita.
Kepintaran kita? Orang yang ber-Ilmu itu tidak sepatutnya sombong akan ilmunya, jika seseorang memiliki ilmu kemudian ia menyombongkannya, maka perlu dipertanyakan ilmu macam apakah itu? Hehe
Ke-elokan paras kita? Itu kan juga titipan Allah, semuanya deh punya Allah, kalo kita terlahir dengan paras yang lebih indah dari sebagian yang lain, yaaaa nggap saja itu merupakan bonus dari Allah. Yang seharusnya kita menjadi lebih baik karena disayang Allah.

Hanya Allah lah yang Maha Memiliki Segala Sesuatu yang berhak sombong, toh Allah juga ga pernah sombong kan :)
Subhanallah.. sungguh kita semua akan meninggalkan setiap apa yang ada di dunia ini ketika jiwa ini terpisah dari raganya. Sebagaimana yang sudah saya sampaikan dalam artikel yang berjudul Pasangan Hidup Terbaik.

Nasihat ke-empat “Sesuatu yang paling Mulia adalah Akhlak yang Mulia.”
Sepertinya kita tidak perlu banyak membahas ini, kita semua tahu yang membuat seorang manusia berharga, bermartabat, bernilai di mata Allah kan ya bergantung pada bagaimana Akhlaknya.

Kemudian empat hal lagi dari Ali bin Abu Thalib r.a

Pertama, “Janganlah engkau bergaul dengan orang Bodoh. Karena ia akan membahayakanmu demi keselamatanmu.”

Ini juga tidak jauh berbeda dengan nasihat perihal akal, serta kebodohan yang merupakan sumber dari kekafiran diatas. Coba deh kita semua ingat-ingat saat masa Jahiliyah kita dulu. Sebelum sadar, masih sukanya foya-foya, seneng-seneng terus hidupnya, belum mendapat hidayah pokoknya.

Dimana saat kita punya teman, kita bergaul dilingkungan yang banyak orang-orang bodoh di dalamnya, maka saya yakin pada saat itu pasti kita semua banyak masalah. Hidup kita suram. Tidak tenang, ragu-ragu, dan masih banyak lagi. Mengapa? Ya karena lingkungan kita memang seperti itu keadaannya.

Teman-teman saya ingatkan lagi ketika kita mendapatkan ilmu baru, jangan lantas ditelan mentah-mentah ya :)
nanti karena mendengar sahabat Ali berpesan demikian, ditambah penafsiran saya yang tidak menganjurkan kita bergaul dengan orang bodoh, begitu ada teman kita yang bodoh langsung pergi jauh-jauh.. hehehe..

maksudnya disini, kita kan bisa memilih lingkungan mana tempat kita tumbuh dan berkembang. Jangan terus nanti dengan orang bodoh. Itu kewajiban kita juga untuk membuatnya lebih baik, bukan ketika kita bergaul dengan orang bodoh malah kita yang jadi ikutan bodoh. Hehe, tapi orang bodohnya yang tercerahkan karena kita. Subhanallah :)

Kedua, “Janganlah engkau bersahabat dengan seorang Pendusta. Karena ia akan menjauhkan yang dekat darimu, dan mendekatkan yang jauh kepadamu.”

Jelas ya nasihat yang satu ini, jika kita memiliki sahabat seorang pendusta, maka bukan hanya kita sering menjadi korbannya. Ia juga akan menjauhkan yang dekat dari kita, apa yang dekat dari seorang muslim? Allah, Rasulullah, Qur’an, Sunnah, dll. Kita akan menjadi jauh dengan keindahan-keindahan tersebut.

Kemudian selain itu, seorang pendusta tadi juga akan mendekatkan yang jauh kepada kita. Apa yang jauh dari seorang muslim? Kemaksiatan. Jadi jangan sampai kita bersahabat dengan seorang pendusta ya.. tapi kalau tidak percaya dan mau mencoba ya silahkan, resiko ditanggung pelaku. Hehehe

Ketiga, “Janganlah engkau bersahabat dengan seorang yang Bakhil. Karena ia akan mengabaikanmu disaat kamu membutuhkannya.”


Ini juga sepertinya sudah menjadi pengalaman dalam keseharian kita ya. Dimana saat kita memiliki seorang sahabat yang bakhil, kita senantiasa makan hati. Hehehe
Tapi coba perhatikan teman-teman disekitar kita,
saat kita memiliki sahabat yang bakhil, malah sebenarnya mereka itu tidak pernah merepotkan ataupun sangat jarang meminta bantuan terhadap kita lho.

Karena biasanya orang-orang bakhil itu orang yang yaaaaaa sebenarnya ga kaya-kaya amat sih, tapi memang sangat bakhil dan perhitungan masalah uang. Hehe, atau orang yang sebenarnya tidak terlalu pinter-pinter banget, tapi memang dia takut membagi ilmunya karena akan mendapat saingan atau rival baru.

Nah saat mereka butuh bantuan kita, dan kita dengan senang hati membantu. Tidak demikian ketika keadaan berbalik menjadi kita yang sedang membutuhkan bantuannya, adaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aja alasan untuk tidak membantu kita. Hehe

Sering ya kita ketemu orang yang demikian, bakhil sekali, kadang pelit ditanyain tugas atau PR, kadang pelit saat kita pinjem beberapa rupiah untuk sementara waktu, bukan karena ia tidak tau tugas atau PR-nya, dan bukan pula karena ia tidak punya uang atau tidak percaya kita. Ya memang itulah sifat dari orang bakhil.

Dan yang terakhir. “Janganlah engkau bergaul dengan orang yang banyak melakukan Maksiat. Karena ia akan menjualmu dengan harga yang murah, dan membuatmu remeh di mata Allah.”

Nasihat penutup ini merupakan pamungkas. Jangankan untuk bersahabat, hanya sekedar bergaul saja JANGAN. Dan jelas sekali ya ketika kita berada dalam lingkungan dimana banyak orang-orang melakukan maksiat, maka secara tidak langsung kita juga akan terbawa, minimal terkena fitnah ketika terjadi hal-hal yang tidak dibenarkan agama.

Nah demikianlah teman-teman sekalian, saudara seiman dan seperjuangan.
Semoga nasihat ini tidak sekedar mampir di mata dan telinga kita, namun terpatri kuat dalam jiwa kita.
Agar kita senantiasa menjadi orang-orang yang berakhlak mulia di mata Allah.
Amin ya Rabb..

Jumat, 01 April 2011

Syarat Melakukan Maksiat

Suatu hari, ada seorang pemuda yang menemui Ibrahim bin Adham, ia berkata
“Wahai Aba Ishak! Selama ini aku gemar bermaksiat, aku melewati 20tahun hidupku dengan bersenang-senang. Aku masih sangat muda, aku masih bisa hidup sampai 40tahun kedepan, mungkin malah hingga usiaku 70tahun, atau bahkan lebih. Akankah engkau memberiku nasihat, agar aku tidak melakukan maksiat lagi?”
Setelah mendengar perkataan pemuda tersebut, Ibrahim berkata
“Jika kamu mau menerima lima syarat dan mampu melaksanakan kelima-limanya, maka boleh lah kamu melakukan maksiat sesuka hatimu.”

Praktis pemuda ini dibuat kaget bukan main oleh jawaban Ibrahim, baru kali ini ia meminta nasihat dari hamba Allah yang shalih, namun apa yang ia temui?
Ia mendapatkan syarat untuk melakukan maksiat, lima hal yang harus dilakukannya terlebih dahulu sebelum bermaksiat.
Dengan penasaran dan terheran-heran, pemuda ini bertanya
“Apa saja kelima syarat yang engkau ajukan tersebut wahai Aba Ishak?”

Ibrahim berkata
“Syarat yang pertama, jika kamu bermaksiat kepada Allah, maka janganlah kamu memakan rejeki-Nya.”
Mendengar syarat pertama dari Ibrahim, pemuda tersebut mengernyitkan keningnya seraya berkata
“Lalu aku mau makan dari mana?? Bukankah semua yang ada di bumi ini adalah rejeki Allah yang disediakan untuk hamba-Nya??”
“Ya benar!” tegas Ibrahim, kemudian ia melanjutkan perkataannya
“Kalau kamu sudah mampu memahaminya, maka apakah pantas selama ini kamu memakan rejeki dari-Nya, untuk kemudian kamu melanggar apa yang dilarang oleh-Nya? Mana rasa syukur dan terima kasihmu pada Dzat yang selama ini menghidupimu?
Pemuda itu terdiam,

sembari menunggu, Ibrahim berkata
“Syarat yang kedua, jika kamu bermaksiat kepada Allah, maka janganlah kamu tinggal di bumi-Nya.”
Belum habis rasa tercengang pemuda itu, mendengar syarat kedua dari Ibrahim, ia kaget setengah mati.
Ibrahim melanjutkan
“Apakah pantas kamu makan rejeki dari-Nya, tinggal di bumi-Nya, kemudian kamu bermaksiat kepada-Nya?”
Dengan mata berkaca-kaca pemuda ini menjawab
“Ya, wahai Aba Ishak. Engkau benar. Lalu apa syarat yang ketiga?”
Tanya pemuda itu

“Syarat yang ketiga, jika kamu masih mau bermaksiat, carilah tempat paling tersembunyi dan aman, yang tidak akan terlihat oleh-Nya.”
Pemuda itu menggelengkan kepalanya dan berkata
“Wahai Aba Ishak. Nasihat macam ini?? Mana mungkin ada tempat yang tidak terlihat oleh-Nya, sementara kita tahu bahwa Allah Maha Melihat.”
Ibrahim menyahut
“Nah kalau yakin demikian, kamu tahu bahwa Allah selalu melihat kita, apakah kamu masih ingin melakukan maksiat?”
Pemuda tersebut hanya diam dan meminta syarat yang ke-empat

“Syarat yang ke-empat, jika Malaikat Izroil datang hendak mencabut nyawamu, beranikan dirimu untuk menolaknya dan meminta waktu guna bertobat serta melakukan amal shalih.”
Pemuda itu tersentak dan segera menyadari seraya berkata
“Wahai Aba Ishak, mana mungkin Malaikat Maut mau memenuhi permintaanku itu??”
Ibrahim menegaskan
“Wahai anak muda, kalau kamu sudah meyakini dan paham bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat menunda atau mengundurkan kematianmu, apakah kamu masih juga mau melakukan maksiat?”
“Tidak.!!” Jawab pemuda tersebut dan meminta syarat terakhir

“Yang terakhir, jika Malaikat Zabaniyah hendak melemparmu ke dalam api neraka, janganlah kamu mau ikut bersamanya. Karena sungguh pedih azab Allah bagi hamba-Nya yang bermaksiat.”
Mendengar syarat penutup ini, si pemuda menangis terisak-isak sembari membayangkan
“Mana mungkin aku memiliki kuasa untuk menolaknya, Astagfirullah...”

Subhanallah.. betapa beruntung pemuda tersebut, ia mendapat hidayah serta ampunan dari Allah atas segala dosa-dosa dan maksiatnya.

Teman-teman seimanku, marilah kita senantiasa mengingat nasihat super dari Ibrahim bin Adham ini, sehingga kapanpun dimanapun terlintas pikiran jahat kita ingin melakukan maksiat. Kita segera tersadar,

Bahwa kita masih dan akan terus makan rejeki dari Allah,
Bahwa kita masih dan akan terus tinggal di bumi Allah (bahkan kita pun akan dikubur disana)
Bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, dan kita takkan mampu bersembunyi dari-Nya
Bahwa tidak akan ada sesuatupun yang mampu menunda dan mengundurkan kematian kita
Bahwa sungguh kita tak punya daya kuasa untuk memilih dimana tempat tinggal kita saat jiwa ini telah terpisah dari raganya.


Semoga dengan selalu mengingat Allah kita senantiasa ada dalam lidungan serta rahmat-Nya.
Amin ya Rabb :)

Kamis, 31 Maret 2011

Pesona Keindahan Ilmu

Pada mulanya manusia hanya berjalan pelan di atas muka bumi, sementara burung-burung terbang bebas di angkasa luas.
Kemudian manusia menciptakan pesawat yang kemampuan terbangnya jauh melampaui kecepatan terbang burung-burung paling cepat, sekalipun elang dan rajawali.

Pada mulanya manusia hanya berdiri di tepi pantai, menatap ikan-ikan berenang syahdu di lautan lepas.
Kemudian manusia menciptakan kapal-kapal raksasa yang dapat digunakan untuk mengarungi samudra terluas bahkan mampu menyelami lautan yang paling dalam.

Pada mulanya manusia hanya berjalan tertatih, sembari menyaksikan kucing-kucing asyik berkejaran secepat angin di tanah lapang.
Kemudian manusia menciptakan mobil yang kecepatannya jauh melebihi kecepatan kucing-kucing paling dahsyat. Sekalipun juaguar.

Prof. Laode M Kamaludin, M.Sc, M.Eng
(Rektor Unissula)


Saya mengawali tulisan dalam artikel ini dengan mengambil sebuah analogi yang sangat brilian dari Rektor saya tercinta, Prof. Laode. Dalam menggambarkan bagaimana peran penting yang dipegang oleh ILMU dalam perkembangan teknologi, yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dirasakan oleh setiap mahkluk hidup di bumi ini, beliau sangat istimewa.

Hal-hal yang dipaparkan oleh Prof. Laode di atas merupakan fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana manusia bisa sangat luar biasa dengan otaknya.

Hal-hal yang terjadi di atas merupakan buah manis dari sebuah Ilmu Pengetahuan.
Teknologi-teknologi canggih yang sekarang ini hadir disekeliling kita yang sangat memudahkan kehidupan kita, semua itu terlahir dari rahim Ilmu Pengetahuan.
Semua yang nampak begitu hebat dan menakjubkan di sekitar kita merupakan hasil dari Ilmu Pengetahuan.

Inilah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia, yang menjadikan manusia merupakan mahkluk yang paling sempurna diantara mahkluk-mahkluk ciptaan Allah lainnya.

Malaikat adalah mahkluk yang diciptakan Allah dari Nur (cahaya), ia hanya diberi akal saja, ia tidak diberi nafsu untuk melakukan hal-hal diluar perintah Allah penciptanya.

Sedang hewan merupakan mahkluk yang diciptakan Allah dan dibekali dengan nafsu, tanpa di anugrahi akal. Sehingga ia tidak tahu bagaimana menjalani hidup ini agar menjadi mulia dan bermartabat di mata Allah.

Dan manusia, manusia merupakan mahkluk ciptaan Allah yang di anugrahi akal dan nafsu. Sehingga manusia dapat memilih akan menjadi apa ia hidup di dunia ini.

Saya ingin memberikan sebuah eksplanasi sederhana tentang perbedaan antara Manusia dengan Benda. Dalam hal esensi serta eksistensinya.

Saya memulai dengan benda, dan mengambil analogi sebuah meja. Meja merupakan benda mati yang tidak bernyawa. Namun dalam meja ini esensi mendahului eksistensinya.
Sebuah meja sebelum berwujud meja (mengada) atau ada eksistensinya sebagai sebuah meja, ia sudah terlebih dahulu muncul sebagai esensi.

Seorang tukang (pembuat meubel/meja), sebelum ia menciptakan sebuah meja, ia sudah membayangkan tentang bentuk dan wujud dari meja tersebut. Di dalam pikirannya sudah ada bagaimana struktur meja tersebut (esensi).
Meja itu akan memiliki empat kaki (penyangga),
di atasnya akan diletakkan sebuah alas berbentuk persegi,
yang pada ke-empat sisinya nanti akan ia bentuk sedikit tumpul (tidak bersiku 90d)
dengan tujuan agar tidak melukai orang ketika berbenturan dengannya,
Meja tersebut akan berwarna coklat tua, dan berfungsi sebagai meja belajar.

Nah setelah sempurna esensi sebuah meja dalam pikiran sang tukang, barulah ia membuatnya dan terciptalah sebuah meja. Barulah muncul eksistensi dari sebuah meja tersebut. Ada wujud eksis dari meja yang berasal dari esensi tersebut.
Dan setelah itu ia hanya benda mati yang tidak dapat berbuat apa-apa.

Berbeda dengan meja, manusia itu eksistensinya mendahului esensi.
Sehingga sudah cukup jelas bagaimana perbedaan antara keduanya dari pemaparan saya di atas kan ?
Bahwa manusia itu lebih dulu eksis, ada wujudnya sebagai manusia, barulah esensinya (hakikat) ia sebagai manusia menyesuaikan.

Begitu manusia terlahir ke dunia sebagai seorang bayi. Saat ia keluar dari rahim ibunya, maka eksislah ia, muncullah wujudnya (ada) sebagai seorang manusia (eksistensi).

Kemudian perihal esensinya, hakikat ia sebagai seorang manusia, itu semua bergantung dari proses serta perjalanan hidupnya.
Apakah ia akan menjadi seorang ulama, professor, insinyur, presiden, pejabat, atau malah penjahat, perampok, dan lain sebagainya.

Setiap manusia berhak menentukan akan dibawa kemana hidupnya.
Sehingga jangan pernah menyalahkan orang lain ketika hidup kita buruk, apalagi sampai menyalahkan Allah, astagfirullah...

Nah sekarang mari kita menilik ke dalam diri kita sendiri,
apakah kita ini sudah seperti manusia ?
berbuat banyak dan memberikan manfaat bagi selain kita ?


Atau malah kita ini ternyata tidak lebih dari sebuah benda ?
benda mati yang tidak dapat berbuat apa-apa ?
bahkan mau jadi apa kita, dan akan kemana pun kita tidak tau.
Naudzubillah..


Ini untuk memotivasi teman-teman sekalian, terutama diri saya sendiri agar senantiasa merenungkan hakikat kita sebagai seorang manusia. Dan semakin banyak memberikan manfaat bagi orang lain :)

Saya ingin memberitahu satu lagi rahasia, hehe. Perihal sesuatu yang membedakan manusia dengan sesuatu yang lain di luar dirinya.
Manusia itu juga diberi anugrah indah oleh Allah yang biasa kita sebut Kesadaran.
Yang kesadaran ini tidak dimiliki oleh mahkluk lain kecuali kita sebagai manusia.

Manusia itu sadar dan mampu berpikir bahwa dirinya adalah manusia,
ia seharusnya tahu bahwa dialah mahkluk paling bermartabat diantara mahkluk-mahkluk lainnya.

Sedang kalau kita melihat seekor kucing, ia tidak sadar dan tidak akan pernah berpikir untuk apa dia hidup. Jangankan berpikir demikian, seekor kucing itu tidak sadar (tidak tahu) kalau sebenarnya dia itu adalah seekor kucing. Hehehehe

Kemudian kesadaran untuk menjadi lebih baik,
tentu kita sebagai seorang manusia pernah dan sering memikirkan tentang cita-cita kita beberapa tahun ke depan. Kita sadar bahwa kita memiliki masa depan.

Contoh saat kita berumur 15tahun (atau kurang), kita sering berangan bahwa 5tahun atau 10tahun lagi saya ingin menjadi seorang dokter, seorang guru, seorang pengusaha sukses, seorang artis, dan lain sebagainya.
Inilah suatu kesadaran yang mendorong manusia untuk senantiasa progress ke depan.

Sedangkan seekor kucing ? tidak mungkin ia berpikir bahwa 5tahun lagi ia ingin menjadi seekor gorila. Hehehe
atau kita ganti analogi lain (kasian sikucing ) .
Contoh tumbuhan, pohon mangga.
Pohon mangga tidak pernah sadar akan keberadaannya sebagai pohon, dan ia pun juga tidak akan pernah berpikir tentang masa depannya.
Bahwa 5tahun lagi ia ingin menjadi pohon duren, pohon nangka, dan sebagainya.

Dan sekali lagi marilah kita menilik kepada diri kita sendiri,
apakah kita selama ini sadar tentang eksistensi kita ?
keberadaan kita sebagai seorang manusia ?


Jika kita tidak berani bermimpi, tidak memiliki kemauan untuk menjadi lebih baik,
maka kemudian apa hakikatnya kita sebagai seorang manusia ?
kita tidak lebih dari sebuah benda mati,
atau pohon yang tidak memberikan manfaat.


Bahkan terkadang pohon saja masih dapat memberikan manfaat berupa buah yang manis bagi manusia.
Apalagi kita sebagai manusia yang jauh lebih hebat dari sekedar pohon.

Teman-teman sekalian, marilah kita menjadi lebih mulia, lebih bermartabat, lebih bermanfaat bagi selain kita dengan memiliki Ilmu Pengetahuan. :)

Pesan dari saya,
Bacalah buku sebanyak engkau mampu.
Karena kau takkan pernah tau, dari buku yang mana engkau akan meraih sukses.


Barokallah :)

Ber-ILMU-lah, Maka Allah Akan Mencintaimu

Bissmillahirrahmaanirrahiim.. Artikel ini sengaja saya tulis untuk saudara-saudara muslim yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, agar engkau semakin mulia. Dan saya peruntukkan bagi sebagian yang lain agar menyadari betapa pentingnya ilmu untuk keselamatan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Insyaallah :)

“Pelajarilah ilmu.
Sebab, dengan ilmu akan menimbulkan rasa takut kepada Allah.
Mempelajari ilmu pengetahuan termasuk ibadah.
Menelaahnya dianggap membaca tasbih.
Membahasnya setara dengan takbir.
Mengajarkannya kepada orang lain dihitung sedekah.
Dan mendiskusikannya kepada para pakar dianggap sebagai suatu bentuk kedekatan kepada Allah “
-- Muadz bin Jabal –


Di suatu pagi nan cerah,Abu Hurairah r.a, salah satu sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah Saw. Berjalan melintasi sebuah pasar di Madinah, Nampak sekali suasana pasar yang sangat ramai dengan segala kegiatan jual-belinya.

Melihat pemandangan itu,sahabat yang sangat bersahaja ini tersenyum.Ia pun menghampiri kerumunan orang-orang tersebut dan berkata,
“Saudaraku, alangkah sibuknya kalian...“
Beberapa orang yang mengenal dan mendengar sapaan Abu Hurairah segera menoleh dan bertanya,
“Wahai Abu Hurairah, bagaimana pendapatmu tentang kesibukan kami ini ?“
Abu Hurairah menjawab,
“Sayang sekali kalian beramai-ramai berada disini, padahal sekarang Rasulullah Saw. sedang membagikan harta karun yang paling berharga, mengapa kalian tidak ikut mengambilnya ?“
Praktis ucapan Abu Hurairah tersebut menggagetkan hampir dari seluruh orang yang berada di pasar pagi itu, mereka terkejut dan sangat penasaran mendengar berita dari Abu Hurairah ini.
“Di mana wahai Abu Hurairah ????“
Tanya mereka terkejut sekaligus sangat antusias.
“Di sana, di masjid.“
Jawab Abu Hurairah sambil tersenyum dan menunjuk ke satu arah.

Merasa tertarik dengan informasi Abu Hurairah tersebut,beberapa orang segera pergi meninggalkan pasar dan berjalan berbondong-bondong menuju arah (masjid)yang ditunjuk Abu Hurairah tadi
Sementara itu, Abu Hurairah tetap berdiri di tempatnya, sembari menunggu orang-orang itu kembali ke pasar.
Dan benar saja, tidak beberapa lama, orang-orang yang tadi pergi meninggalkan pasar untuk melihat apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah sudah kembali lagi. Nampak sekali kekecewaan di wajah mereka.

“Wahai Abu Hurairah, kami datang ke masjid dan menemui Rasulullah Saw. namun kami tidak melihat sesuatupun yang dibagikan oleh Rasulullah disana.”
Keluh mereka.
“Apakah kalian tidak melihat banyak orang yang berkumpul disana ?”
Tanya Abu Hurairah.
“Ya. kami melihat banyak orang-orang yang berkumpul mengelilingi Rasulullah disana.”
Jawab orang-orang yang berada dipasar tersebut.
“Orang-orang itu sedang duduk mengitari Rasulullah Saw, yang sedang membagikan harta yang tak ternilai harganya. Rasulullah Saw, sedang membagi-bagikan ILMU-nya kepada mereka. Bukankah ILMU merupakan harta yang paling berharga dan sangat mahal wahai mukmin?”
Ujar Abu Hurairah.

Kemudian orang-orang tersebut hanya mampu terdiam mendengar pemaparan Abu Hurairah. Mereka yang tadinya sangat kecewa dan ingin marah lantaran Abu Hurairah dinilai telah menipu dan membuang-buang waktu mereka untuk berjualan dipasar, sama sekali tidak jadi marah. Karena memang apa yang dipaparkan oleh Abu Hurairah itu benar adanya.

Dalam diam mereka pun tersadar, mereka mengingat apa yang selama ini mereka lakukan secara tidak langsung telah mendzalimi diri mereka sendiri. Mereka tidak mampu berlaku adil terhadap dirinya. Mereka hanya memikirkan kehidupan duniwai mereka, sibuk berdagang, sibuk mencari uang, sibuk memikirkan akan makan apa mereka esok, namun mereka melupakan hatinya.

Hati yang sesungguhnya bekerja sangat keras setiap saatnya. Ia melupakan bahwa tidak hanya tubuh dan pikiran ini yang perlu diberi makanan, bukan hanya tubuh dan pikiran ini yang butuh penyegaran, refreshing. Namun hati ini juga butuh diberi makan, butuh mendapat siraman-siraman Nur Illahi. Agar hati itu senantiasa tenang dan menenangkan pemiliknya.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
“Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu terdapat segumpal darah. Yang mana apabila segumpal darah itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun sebaliknya, apabila segumpal darah itu buruk maka rusaklah seluruh tubuhnya. Dan ketahuilah, segumpal darah itu adalah Hati.” HR. Bukhari

Sebetulnya peristiwa seperti yang terjadi diatas hanyalah satu dari sekian banyak contoh-contoh nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Dimana kita dapat melihat keseharian kita, banyak sekali orang-orang yang dalam keadaan sederhana, mempunyai banyak waktu luang untuk berhubungan dengan Rabb-nya. Setiap datang waktu shalat dan panggilan adzan, ia segera menuju masjid untuk memenuhi panggilan Allah tersebut. Ia sangat dekat dengan Rabb-nya.

Namun, saat ia diberi keadaan (nikmat) yang lebih baik oleh Allah, ternyata ia tidak mampu menerima ujian tersebut. Justru dengan bisnis baru, proyek baru yang dimilikinya, pekerjaan baru yang lebih layak. Itu semua sangat menyita waktu dan perhatiannya. Ia mulai kekurangan waktu untuk berhubungan dengan Rabb-nya seperti saat keadaannya belum se-sejahtera sekarang. Terkadang itu sampai menyebabkannya tidak punya waktu untuk berjamaah di masjid lagi sebagaimana ia selalu berjamaah saat keadaannya belum senyaman saat ini, selalu menunda waktu shalatnya demi urusan bisnis atau pekerjaannya yang baru itu. Bahkan sampai-sampai melewatkan waktu shalatnya.

Naudzubillah.. banyak sekali kita jumpai kasus-kasus seperti ini teman-teman. Dan parahnya kita tidak menyadari bahwa kesibukan baru kita ini telah menjauhkan kita dari Allah.
Banyak sekali orang-orang yang diuji dengan keadaan miskin atau susah, tetapi dengan kesabaran dan keikhlasannya ia mampu melewati ujian dari Allah tersebut dengan baik.
Namun, keadaan berbeda ketika Allah mengujinya dengan kenikmatan, karena terlena dengan keadaan yang serba enak, nyaman, dan sangat bahagia. Ia seolah lupa kepada Dzat yang memberikan semua keindahan tersebut.

Ya sama persis dengan orang-orang yang berada dipasar tadi. Karena terlalu disibukkan dengan urusan duniawinya, ia tidak sempat memikirkan urusan akhiratnya. Ia tidak sempat mengumpulkan bekal untuk perjalanan abadinya kelak. Semoga kita semua tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang merugi tersebut. Amin ya Rabb.

Setiap kita tidak akan pernah bisa memilih akan terlahir dalam keadaan seperti apa yang kita inginkan, namun setiap kita selalu terlahir dengan segala apa yang kita butuhkan. Itu mengapa Allah tidak selalu memberi setiap apa yang kita inginkan, tetapi Allah selalu memberi untuk setiap apa yang kita butuhkan, bahkan tanpa kita meminta pada-Nya sekalipun.
Allah tahu kita membutuhkan udara untuk hidup, pernah kita meminta hal ini kepada Allah? Allah tahu kita membutuhkan air untuk hidup, kita terkadang lupa untuk memikirkan hal ini. Tentu saja hal yang baru saja saya sebutkan hanyalah satu dari sekian banyak rasa kurang puas kita sebagai manusia terhadap nikmat sang Kuasa.

Sebetulnya prinsip yang pertama kali harus kita miliki dan pahami dalam hidup ini, begitu kita siap dan memutuskan untuk hidup di dunia ini adalah, bahwa ketika Allah Swt menciptakan suatu mahkluk, entah itu manusia, hewan, tumbuhan, malaikat, jin, dan lain sebagainya, kita harus meyakini seyakin-yakinnya bahwa Allah pula-lah yang akan menjamin hidup, mati, jodoh, dan rizkinya. Sehingga kita tidak perlu kawatir akan tidak mendapatkan makanan esok hari, atau tempat tinggal untuk dihuni, jika kita mau BERUSAHA tentunya.

Hidup kita di dunia ini sudah dijamin oleh Allah Swt, bahkan sampai pada hal yang paling mendasar sekalipun, justru kehidupan kita kelak di akherat-lah, tentang bagaimana nasib kita besok pada hari akhir-lah yang kita sama sekali tidak dijamin atau dijanjikan apapun oleh Allah, apakah kita akan masuk surga, atau neraka. Itu semua tergantung bagaimana kita hidup di dunia ini.

Sebenarnya manusia adalah mahkluk ciptaan Allah yang paling sering mengeluh. Bahkan jika seorang manusia dibandingkan dengan seekor cicak sekalipun, lebih berhak cicak untuk mengeluh atau protes kepada Allah.
Bayangkan saja, seekor cicak yang hanya hidup dengan merayap, tidak diberi akal dan pikiran oleh Allah, ia diberi rizki atau makanan pokoknya yaitu seekor nyamuk, hewan kecil yang dapat terbang kemanapun ia suka, sedangkan cicak, tidak dapat terbang sama sekali.

Kalau kita mau sedikit berpikir menggunakan logika dan akal sehat kita sebagai manusia, apakah fair? apakah adil Allah kepada cicak? kalau seperi itu bagaimana si-cicak akan dapat makan coba? tidak masuk akal. Namun cicak tersebut dengan prinsip dan keyakinannya tadi (seperti yang sudah saya kemukakan diatas) ia meyakini bahwa Allah pasti menjamin rizki setiap makhluk ciptaan-Nya, tinggal bagaimana ia mau berusaha, menjemput rizki (si-nyamuk) yang dengan sendirinya akan terbang mendekat kepada cicak.

Atau seorang manusia, ketika ia masih bayi, apakah ia tahu bagaimana cara mencari rizki untuk ia tetap dapat makan dan bertahan hidup? jika Allah tidak bijaksana dengan segala kasih sayang-Nya, maka sudah saya patikan saya tidak akan pernah bisa menulis artikel singkat ini. Bahkan seorang bayi sebelum terlahir, ketika ia masih ada dalam kandungan ibunya, ia tetap diberi rizki oleh Allah. Subhanallah.

Saya memberi prolog mengenai analogi-analogi seperti tertulis diatas agar kembali mengingatkan kita, bahwa setiap kita terlahir dengan kelebihan dan kekurangan kita masing-masing. Selanjutnya tinggal bagaimana kita mau berusaha untuk menjadi lebih bermartabat sebagai manusia.

Namun kebanyakan manusia sekarang hanya memikirkan bagaimana mereka hidup di dunia ini saja. Yang nyata-nyata nasib kita itu sudah dijamin oleh Allah. Dan kehidupan kita di akhirat nantilah yang masih belum jelas, dimanakah tempat tinggal kita nantinya, menetap di surga bersama para Nabi dan syuhada, ataukah di neraka.
Maka hanyalah orang-orang berakal, yang berilmu pengetahuan lah yang mampu memikirkan nasib kehidupannya dengan segala persiapan matang.


MENGAPA ILMU ?

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu, dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Qs. Al Mujaadilah : 11)

“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Az Zumar : 9)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) ya Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha suci Engkau, lindungi kami dari azab neraka.” (Qs. Ali Imran : 190-191)

Selasa, 29 Maret 2011

Mangkuk Cantik, Madu Manis dan Sehelai Rambut

Suatu ketika, Rasulullah Saw beserta para sahabat-sahabatnya,
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a, Umar ibn Khattab r.a, Ustman ibn Affan r.a, dan Ali ibn Abu Thalib r.a, bertamu kerumah sahabat Ali bin Abu Thalib r.a.

Di rumah sahabat Ali r.a, istrinya Sayyidatina Fathimah, putri Rasulullah Saw, menyiapkan hidangan untuk tamu-tamunya. Ia menghidangkan untuk mereka madu yang manis yang diletakkan di dalam sebuah mangkuk nan cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan, sehelai rambut secara tidak sengaja terikut (tercelup) di dalam mangkuk tersebut.
Kemudian Baginda Rasulullah Saw pun meminta semua orang yang berada di dalam rumah tersebut untuk memberikan analogi atau perumpamaan dari ketiga benda tersebut. Mangkuk yang cantik, madu yang manis, dan sehelai rambut. Rasul ingin mendengarkan perbandingan ketiga benda tersebut dari orang-orang terdekatnya.

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a berkata,
“Iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu yang manis ini, dan mempertahankan keimanan itu jauh lebih sulit dari berjalan meniti sehelai rambut ini.”

Umar ibn Khattab r.a berkata,
“Kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu yang manis ini, dan memimpin dengan adil itu jauh lebih sulit dari berjalan meniti sehelai rambut ini.”

Ustman ibn Affan r.a berkata,
“Ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu yang manis ini, dan beramal dengan ilmu yang dimiliki itu jauh lebih sulit dari berjalan meniti sehelai rambut ini.”

Ali ibn Abu Thalib r.a berkata,
“Tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menjamu tamunya itu lebih manis dari madu yang manis ini, dan membuat tamu merasa senang hingga ia pulang kembali kerumahnya itu jauh lebih sulit dari berjalan meniti sehelai rambut ini.”

Fathimah al-Zahra r.ha berkata,
“Seorang wanita itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu yang manis ini, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat oleh orang lain kecuali muhrimnya itu jauh lebih sulit dari berjalan meniti sehelai rambut ini.”

Rasulullah Saw. berkata,
“Seseorang yang mendapat taufiq untuk beramal itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seseorang yang beramal dengan amal yang baik itu lebih manis dari madu yang manis ini, dan seseorang yang beramal dengan ikhlas itu jauh lebih sulit dari berjalan meniti sehelai rambut ini.”

Malaikat Jibril As. berkata,
“Menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menyerahkan jiwa, raga, harta, waktu untuk meninggikan agama (jihad) itu lebih manis dari madu yang manis ini, dan mempertahankan usaha dalam jihad fissabilillah meninggikan agama itu jauh lebih sulit dari berjalan meniti sehelai rambut ini.”

Allah Swt. berkata,
“Surga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, nikmat surga-Ku itu lebih manis dari madu yang manis ini, dan jalan menuju surga-Ku itu jauh lebih sulit dari berjalan meniti sehelai rambut ini.”

Taufan Algivari. berkata,
“Senyum itu lebih cantik dari mangkuk manapun, orang yang tersenyum itu lebih manis dari madu manapun, dan tersenyum untuk membentuk senyum saudara kita yang lain itu mudah kok. Engga susah deh :)” hehehehe.

Subhanallah, begitu indah Rasulullah serta para sahabat menilai dan memaknai sesuatu. marilah kita asah jiwa ini agar senantiasa menerima dan mengeluarkan sesuatu hanya yang indah-indah saja.
Barokallah :)